Kalamazoo, Michigan, Tikus Gambia berbeda dari tikus biasa karena beratnya bisa mencapai 4-7 kg. Selain itu juga punya kemampuan istimewa yakni mendeteksi bakteri tuberculosis (TBC), bahkan diyakini lebih akurat dibandingkan pemeriksaan dengan mikroskop.
Dengan memanfaatkan kemampuan tikus Gambia (Cricetomys gambianus), pemeriksaan Mycobacterium tuberculosis penyebab
TBC bisa dilakukan dengan biaya lebih murah. Siapapun bisa menangkap dan memeliharanya karena binatang ini hidup liar dan tersebar di beberapa wilayah Afrika Sub-Sahara.
Bandingkan dengan metode terbaru yang diperkenalkan organisasi kesehatan dunia WHO baru-baru ini. Meski bisa mendeteksi TBC dalam 2 jam saja, harga alat yang digunakan mencapai US$ 17.000 atau sekitar Rp 153 juta belum termasuk cartridge dahak yang tak kalah mahal harganya.
Sementara itu metode paling praktis dan murah yang telah dilakukan sejak 100 tahun lalu yakni smear microscopy dinilai lemah dari aspek akurasi. Pemeriksaan ini memiliki risiko kegagalan cukup tinggi, sebab 60-80 persen bakteri tidak terdeteksi dengan metode yang hanya mengandalkan mikroskop ini.
Smear microscopy mensyaratkan jumlah sputum atau dahak yang cukup banyak untuk menjamin akurasinya. Meski begitu, metode ini masih banyak digunakan karena murah terutama di negara-negara berkembang dengan fasilitas laboratorium yang serba terbatas.
Baru-baru ini, Prof Alan Poling dari Western Michigan University memperkenalkan metode yang murah namun akurat untuk mendeteksi TBC. Metode ini memanfaatkan ketajaman indera penciuman tikus Gambia, sejenis tikus raksasa dari Afrika.
Dalam pengujian di laboratorium, tikus yang ukurannya bisa lebih besar dari kucing ini mampu mendeteksi positif keberadaan Mycobacterium tuberculosis dengan sensitivitas 86,6 persen. Saat diberi dahak yang bebas dari bakteri TBC, reaksi tikus mengidentifikasi hasil negatif dengan akurasi 93 persen.
"Lagipula tikus Gambia adalah binatang yang menyenangkan. Andai tidak punya ekor yang panjang dan bersisik, tentu tidak terlalu menyeramkan dan pasti banyak yang suka memeliharanya," ungkap Prof Poling seperti dikutip dair NYtimes, Kamis (6/1/2011).
Dengan memanfaatkan kemampuan tikus Gambia (Cricetomys gambianus), pemeriksaan Mycobacterium tuberculosis penyebab
TBC bisa dilakukan dengan biaya lebih murah. Siapapun bisa menangkap dan memeliharanya karena binatang ini hidup liar dan tersebar di beberapa wilayah Afrika Sub-Sahara.
Bandingkan dengan metode terbaru yang diperkenalkan organisasi kesehatan dunia WHO baru-baru ini. Meski bisa mendeteksi TBC dalam 2 jam saja, harga alat yang digunakan mencapai US$ 17.000 atau sekitar Rp 153 juta belum termasuk cartridge dahak yang tak kalah mahal harganya.
Sementara itu metode paling praktis dan murah yang telah dilakukan sejak 100 tahun lalu yakni smear microscopy dinilai lemah dari aspek akurasi. Pemeriksaan ini memiliki risiko kegagalan cukup tinggi, sebab 60-80 persen bakteri tidak terdeteksi dengan metode yang hanya mengandalkan mikroskop ini.
Smear microscopy mensyaratkan jumlah sputum atau dahak yang cukup banyak untuk menjamin akurasinya. Meski begitu, metode ini masih banyak digunakan karena murah terutama di negara-negara berkembang dengan fasilitas laboratorium yang serba terbatas.
Baru-baru ini, Prof Alan Poling dari Western Michigan University memperkenalkan metode yang murah namun akurat untuk mendeteksi TBC. Metode ini memanfaatkan ketajaman indera penciuman tikus Gambia, sejenis tikus raksasa dari Afrika.
Dalam pengujian di laboratorium, tikus yang ukurannya bisa lebih besar dari kucing ini mampu mendeteksi positif keberadaan Mycobacterium tuberculosis dengan sensitivitas 86,6 persen. Saat diberi dahak yang bebas dari bakteri TBC, reaksi tikus mengidentifikasi hasil negatif dengan akurasi 93 persen.
"Lagipula tikus Gambia adalah binatang yang menyenangkan. Andai tidak punya ekor yang panjang dan bersisik, tentu tidak terlalu menyeramkan dan pasti banyak yang suka memeliharanya," ungkap Prof Poling seperti dikutip dair NYtimes, Kamis (6/1/2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar